Sutradara
Produser
Pemeran
Studio
Durasi
117 menit
Negara
Bahasa
- R E V I E W -
Siapa yang tidak suka minum kopi sambil
bercengkrama bersama kerabat pada malam hari? Ya, bila orang barat punya
kebiasaan nongkrong sambil minum bir (yang mana kita juga sudah mulai ketularan),
orang Indonesia punya warung kopi dan segala keriuhan di dalamnya.
Lewat kopi, saya dan banyak orang telah dipertemukan. Begitu juga dengan tiga
karakter dalam Filosofi Kopi yaitu: Ben (Chicco Jericko), Jody (Rio
Dewanto), dan El (Julie Estelle).
Ben dan Jody sudah berteman sejak lama. Karena
sebuah tragedi di masa lalu, Ben memutuskan untuk merantau ke Jakarta di mana
ia diangkat sebagai anak oleh bapak Jody. Ben yang memang gemar belajar tentang
ilmu kopi, membuka sebuah kedai kopi bersama Jody, di mana ia berperan sebagai
sang barista, sementara Ben sebagai pengusahanya.
Masalah hadir saat utang mulai melilit dan kedai
kopi Ben dan Jody terancam ditutup. Namun, secercah harapan muncul
ketika Ben mendapat tantangan untuk membuat kopi terenak se-Jakarta oleh
seseorang yang misterius. Ganjarannya? Cukup besar untuk membebaskan mereka
dari semua masalah. Namun jika gagal malah membuat keadaan makin runyam.
Eksperimen Ben dalam membuat kopi terenak kembali mendapat ujian lagi
saat El, seorang wanita yang tengah menulis buku mengenai kopi, mengatakan
bahwa kopi bikinan Ben bukanlah yang terbaik.
Filosofi Kopi cukup cepat untuk membeberkan
semua konflik utamanya. Mulai dari bagaimana berbedanya prinsip antara Ben
dan Jody adalah sebuah bom waktu dalam hubungan mereka hingga ke pokok plot
yang sudah saya tulis di atas, muncul dalam bagian awal durasinya.
Setelah semuanya terbuka, barulah film berani
mengeksplorasi filosofi dari tiap karakternya, sama seperti Ben membuka film
ini dengan filosofi tiap kopi yang diraciknya.
Bila sepertiga awal film terasa penuh komedi,
maka di bagian dua per tiganya terasa perubahan menuju drama. Ben, Jody, dan El
memiliki masa lalu tersendiri. Efek dari masa lalu itulah yang membentuk mereka
dan menaruh mereka ke jalur hidup yang kini sedang mereka tempuh. Kurang lebih,
sama seperti kopi sendiri. Dari awal biji kopi ditanam hingga ke proses
pembuatannya, menentukan rasa apa yang nantinya bisa dicicipi penikmatnya.
Sayangnya, tidak semua karakter memiliki filosofi
yang cukup menarik dan penting untuk disimak. Malah, hanya Ben yang memiliki
cerita layak didengar. Jody dan El sendiri tidak memiliki masalah yang relevan
dan mudah untuk diterima. Malah, khusus untuk El, ceritanya terlalu terasa
difabrikasi. Kemungkinan besar karena karakternya sendiri memang tidak ada di
buku aslinya.
Namun, itu yang saya rasakan ketika Jody dan El
mulai bertutur. Alur Filosofi Kopi yang dibangun rapi mendadak menjadi
terasa begitu membosankan dan terlalu diulur-ulur. Untungnya, hal itu tidak
berlangsung lama. Karena ketika Ben kembali ke layar, film kembali berada
di jalur yang benar.
Eksekusi adegan terakhir juga terasa sedikit
terburu-buru, sangat terasa ketika tempo film cenderung stabil sepanjang durasi
117 menitnya.
Namun, selain dua hal tersebut, saya benar-benar
menyukai Filosofi Kopi. Meski menjadi buku Dee Lestari terakhir
yang diadaptasi ke medium film Filosofi Kopi jelas adalah
yang terbaik dari adaptasi tulisan Dee lainnya. Dengan kualitas produksi
yang berada jauh di atas koleganya hingga kemampuan para aktor di layarnya
yang mumpuni, Filosofi Kopi akan berakhir sebagai salah satu film
Indonesia terbaik tahun ini.
Di tangan Angga Dwi Sasongko (Cahaya Dari Timur)
kalian akan menemukan banyak adegan-adegan cantik mulai dari aktivitas
di kedai kopi hingga pemandangan kebun kopi. Tiap shot-nya terasa mahal
dan elegan meski sederhana dan tanpa harus menghabiskan kocek banyak a la film produksi Soraya.
Angga juga jago untuk dalam bercerita
dan memaparkan karakternya tanpa harus frontal dan penuh lisan. Hal ini
tentunya juga didukung oleh kemampuan dari Chicco Jericho yang kembali
tampil brilian di sini. Lewat gesturnya membuang rokok saja sudah
menggambarkan banyak tentang karakternya. Atau Rio Dewanto dengan
ekspresinya yang kalem dan penuh kecemasan setiap saat menggambarkan
betapa karakternya melakukan banyak perhitungan tiap langkah yang
diambilnya.