Pages

Mengenai Saya

Foto saya
Architecture of Gunadarma University. My Dream = Senior Architect!!! :')
Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 20 Januari 2017

13 BANGUNAN BERTINGKAT TANPA IZIN DI BANDUNG

NAMA  : BIMA HARYADI
KELAS  : 3TB06
NPM    : 22314172

TUGAS 4 SOFTSKILL
HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN



13 BANGUNAN BERTINGKAT TANPA IZIN DI BANDUNG


BAB 1
LATAR BELAKANG

Gambaran Umum Perizinan Bangunan

Fungsi bangunan sebagai tempat segala aktivitas manusia, mulai dari aktivitas perekonomian, kebudayaan, sosial, dan pendidikan terkait dengan fungsi pemerintah daerah sebagai “agent of development, agent of change, agent of regulation”. Dalam fungsinya tersebut, pemerintah daerah berkepentingan terhadap izin-izin bangunan. Perizinan bengunan diberlakukan agar tidak terjadi kekacau-balauan dalam penataan ruang kota, dan merupakan bentuk pengendalian pembangunan ruang kota. Tentang perlunya izin bangunan, ini akan nampak manakala kita melihat kota-kota besar. Kota besar seperti Jakarta dan sebagainya mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan akan terus berlanjut dari tahun ketahun.

Kebutuhan akan perumahan (mulai rumah perumahan sederhana, rumah susun, apartemen, dan real estate), perkantoran, pertokoan, mall, dan tempat-tempat hiburan (hotel, diskotek), tempat pendidikan  dan bangunan lainnya semakin tinggi sebagai akibat pertambahan penduduk dan kebutuhannya.         

Pembangunan di bidang real estate, industrial estate, shopping centre, dan sebagianya, saat ini diperlukan pengaturan dalam rangka pengendalian dampak pembangunan, yang meliputi dampak  lingkungan, impact fee dan  traffic Impact Assement. Impact fee, adalah biaya yang harus dibayar oleh pengembang kepada pemerintah kota akibat dari pembangunan yang mereka laksanakan. Pelaksanaan pembangunan oleh pengembang akan mengakibatkan biaya infrastruktur bagi pemerintah kota , karena seluruh jaringan infrastruktur yang dibangun akan disambung dengan system jaringan kota, yang pada gilirannya akan menuntut peningkatan kapasitas. Traffic Impact Assement , yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang untuk malakukan kajian analisis tentang dampak lalu lintas. Kajian tersebut harus dapat menggambarkan kinerja jaringan jalan sebelum dan stelah ada pembangunan, dampaknya dan bagaimana mengatasinya. (Ismail Zuber, 2000, hal. 12)

1.2.  Peraturan dan perundang-undangan yang memuat IMB
Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
PP no. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

***

BAB 2
PERMASALAHAN

2.1. Contoh Bangunan Tanpa Izin di Bandung

Sebanyak 13 bangunan bertingkat di Kota Bandung disinyalir tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau tidak sesuai izin yang dikeluarkan. Dari sebanyak itu, bangunan baru rumah sakit ternama di Kota Bandung diduga tidak memiliki izin, kemudian beberapa hotel disinyalir menyalahgunakan izin, seperti seharusnya empat tingkat malah dibangun tujuh tingkat dan semi basement.

Data yang mencantumkan beberapa lokasi yang diduga melanggar aturan itu, beredar di kalangan wartawan sejak akhir pekan lalu. Berdasarkan data, kebanyakan bangunan yang melanggar yaitu hotel. Setidaknya ada 13 bangunan yang diduga menyalahi. Dari jumlah tersebut, 6 di antaranya adalah hotel. Sisanya yaitu pusat perbelanjaan (1), perkantoran (2), rumah sakit serta poliklinik (2) dan perguruan tinggi (1). Bahkan salah satu dari 13 tersebut bangunan baru kantor partai politik pun disinyalir tidak ada izinnya.

Akan tetapi, dinas terkait tampak belum bisa melakukan tindakan riil di lapangan. Masalahnya, saat ini pihak Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip) Kota Bandung tengah menunggu Perwal sebagai dasar hukum terkait sanksi. Perwal itu berkaitan dengan keputusan pemisahan raperwal sanksi terhadap bangunan yang sudah dibangun dengan diskresi terhadap bangunan yang belum dibangun.

2.1.1 Pullman Hotel & Convention Hall, di Jln. Ciponegoro, Kel. Citarum, Kec. Bandung Wetan.




Kondisi di lapangan, pembangunannya diduga tak sesuai dengan IMB. Dalam IMB, hotel itu harusnya memiliki 14 lantai dan 1 basement tapi prakteknya dibangun 14 lantai dan 2 basement.

2.1.2 Hotel Harper di Jln. Dr. Djunjunan

Hotel itu dibangun tidak sesuai IMB. Dalam IMB, disebutkan harus dibangun 4 lantai. Namun kenyataan, dibangun 2 masa bangunan, yaitu 9 lantai ditambah semi basement, basement dan lantai 7 plus semi basement.

***
BAB 3 – SARAN DAN SOLUSI

'Penyakit lama' yang 'diderita' Pemkot Bandung tak kunjung terobati. Pelanggaran demi pelanggaran masih tetap terjadi dan tak ada langkah konkret di lapangan yang bisa memberikan efek jera. Khusus masalah perizinan, Ade menilai sistem online yang diterapkan saat ini belum berjalan baik. Sistem yang terbilang baru itu, belum bisa memangkas problem yang kerap terjadi.

Saya kira Wali Kota perlu mengawal lebih dalam terhadap masalah perizinan ini. Lebih dalam artinya mereview atau menilai kinerja SKPD. Harus dilihat juga berapa sih sebenarnya pengajuan izin yang masuk dan bagaimana progressnya. Saya merasa miris ketika masalah-masalah yang terjadi selalu dikembalikan kepada Wali Kota. Padahal seharusnya, masalah itu bisa diselesaikan oleh SKPD terkait. Wali Kota sebenarnya sudah menciptakan sistem dan berikan guiden yang baik dan cepat. Tapi ternyata tetap masih bermasalah.

Dalam hal pelanggaran IMB, saya menegaskan, SKPD terkait haruslah melakukan tindakan tegas. Ketika menemukan pelanggaran, jika merujuk pada peraturan daerah, maka penegakan sanksi harus ditegakan. Sanksi bisa berbentuk sesuai perda. Kalau perda nyatakan pembongkaran, berarti harus (dilakukan) pembongkaran. Tapi kalau pembongkaran itu, sebenarnya sangat merugian bagi pengusaha. Harus dicari apa yang menyebabkan pelanggaran terjadi.



SUMBER :


RUANG TERBUKA HIJAU

NAMA  : BIMA HARYADI
KELAS  : 3TB06
NPM    : 22314172

TUGAS 5 SOFTSKILL
HUKUM  DAN PRANATA PEMBANGUNAN


RUANG TERBUKA HIJAU


Menurut UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota (Pasal 29 ayat 2). Ketentuan ini dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, yang menetapkan 20 % alokasi RTH Publik dan 10 % RTH Privat (Pasal 36 ayat 1 dan 2).

Proporsi RTH Publik pada kota-kota besar di Indonesia saat ini pada tabel di bawah ini :



Pada tabel di atas, sangat terlihat jelas hanya Kota Bogor yang bisa mendekati ketentuan minimal RTH Publik. Kota ini sebenarnya cukup tertolong dengan adanya Kebun Raya Bogor yang berada di tengah kota. Sementara di Ibukota Jakarta, RTH Publik yang ada baru mampu mencapai angka 10 %, padahal menurut data yang ada pada awal tahun 1970-an RTH Jakarta masih mencapai 35 %. Terjadi penurunan yang sangat signifikan terhadap luasan RTH Publik yang ada di Jakarta, walaupun Pemda setempat terus mengupayakan peningkatan RTH Publik dari tahun ke tahun.

Menurunnya kualitas dan kuantitas RTH akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan seperti terjadinya banjir karena kurangnya peresapan air, tingginya polusi udara maupun meningkatnya kerawanan sosial. Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan sudah sewajarnya kita memberikan perhatian yang cukup terhadap keberadaan ruang terbuka hijau, sehingga ketentuan RTH minimal 30 % sesuai amanat regulasi yang ada bisa dicapai.



PENGERTIAN, KLASIFIKASI DAN FUNGSI RTH

Ruang terbuka (open spaces) merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Ruang terbuka (open spaces), Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ruang publik (public spaces) mempunyai pengertian yang hampir sama. Secara teoritis yang dimaksud dengan ruang terbuka (open spaces) adalah: Ruang yang berfungsi sebagai wadah (container) untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok, serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan (UUPR no.24/1992).


Klasifikasi Ruang Tebuka Hijau Kota
Dinas Pertamanan mengkalasifikasikan ruang terbuka hijau berdasarkan pada kepentingan pengelolaannya adalah sebagai berikut :
§  Kawasan Hijau Pertamanan Kota, berupa sebidang tanah yang sekelilingnya ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon pelindung, semak/perdu, tanaman penutup tanah serta memiliki fungsi relaksasi.
§  Kawassan Hijau Hutan Kota, yaitu ruang terbuka hijau dengan fungsi utama sebagai hutan raya.
§  Kawasan Hijau Rekreasi Kota, sebagai sarana rekreasi dalam kota yang memanfaatkan ruang terbuka hijau.
§  Kawasan Hijau kegiatan Olahraga, tergolong ruang terbuka hijau area lapangan, yaitu lapangan, lahan datar atau pelataran yang cukup luas. Bentuk dari ruang terbuka ini yaitu lapangan olahraga, stadion, lintasan lari atau lapangan golf.
§  Kawasan Hijau Pemakaman.
§  Kawasan Hijau Pertanian, tergolong ruang terbuka hijau areal produktif, yaitu lahan sawah dan tegalan yang masih ada di kota yang menghasilkan padi, sayuran, palawija, tanaman hias dan buah-buahan.
§  Kawasan Jalur Hijau, yang terdiri dari jalur hijau sepanjang jalan, taman di persimpangan jalan, taman pulau jalan dan sejenisnya.
§  Kawasan Hijau Pekarangan, yaitu halaman rumah di kawasan perumahan, perkantoran, perdagangan dan kawasan industri.

Sementara klasifikasi RTH menurut Inmendagri No.14 tahun 1988, yaitu: taman kota, lapangan O.R, kawasan hutan kota, jalur hijau kota, perkuburan, pekarangan, dan RTH produktif.
Bentuk RTH yang memiliki fungsi paling penting bagi perkotaan saat ini adalah kawasan hijau taman kota dan kawasan hijau lapangan olah raga. Taman kota dibutuhkan karena memiliki hampir semua fungsi RTH, sedangkan lapangan olah raga hijau memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesehatan masyarakat selain itu bisa difungsikan sebagian dari fungsi RTH lainnya.

Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Kegiatan–kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH bagi kota yaitu: untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota dengan sasaran untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan sehat.

             Berdasarkan fungsinya menurut Rencana Pengembangan Ruang terbuka hijau tahun 1989 yaitu :
1.      RTH yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dimana penduduk dapat melaksanakan kegiatan berbentuk rekreasi, berupa  kegiatan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga, dan rekreasi pasif seperti taman.
2.      RTH yang berfungsi sebagai tempat berkarya, yaitu tempat penduduk bermata pencaharian dari sektor pemanfaatan tanah secara langsung seperti pertanian pangan, kebun bunga dan usaha tanaman hias.
3.      RTH yang berfungsi sebagai ruang pemeliharaan, yaitu ruang yang memungkinkan pengelola kota  melakukan pemeliharaan unusur-unsur perkotaan seperti jalur pemeliharaan sepanjang sungai dan selokan sebagai koridor kota.
4.      RTH yang berfungsi sebagai ruang pengaman, yaitu untuk melindungi suatu objek vital atau untuk mengamankan manusia dari suatu unsur yang dapat membahayakan seperti jalur hijau disepanjang jaringan listrik tegangan tinggi, jalur sekeliling instalasi militer atau pembangkit tenaga atau wilayah penyangga.
5.      RTH yang berfungsi sebagai ruang untuk menunjang pelestarian dan pengamanan lingkungan alam, yaitu sebagai wilayah konservasi atau preservasi alam untuk mengamankan kemungkinan terjadinya erosi dan longsoran pengamanan tepi sungai, pelestarian wilayah resapan air.
6.      RTH yang berfungsi sebagai cadangan pengembangan wilayah terbangun kota di masa mendatang.

Fungsi RTH kota berdasarkan Inmendagri no.14/1998 yaitu sebagai:
1.      Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan
2.      Sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan
3.      Sarana rekreasi
4.      Pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik darat, perairan maupun udara
5.      Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan
6.      Tempat perlindungan plasma nutfah
7.      Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro
8.      Pengatur tata air

Melihat beberapa fungsi tersebut diatas bisa disimpulkan pada dasarnya RTH kota mempunyai 3 fungsi dasar yaitu:
v  Berfungsi secara sosial yaitu fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan dan olahraga. Dan menjalin komunikasi antar warga kota.
v  Berfungsi secara fisik yaitu sebagai paru-paru kota, melindungi sistem air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, menahan perkembangan lahan terbangun/sebagai penyangga, melindungi warga kota dari polusi udara
v  Berfungsi sebagai estetika yaitu pengikat antar elemen gedung dalam kota, pemberi ciri dalam membentuk wajah kota dan unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.




KOTA BANDUNG
Saat ini Kota Bandung baru memiliki sekitar 1700 hektare RTH. Sedangkan idealnya RTH untuk kota yang memiliki luas 16.729,65 hektare ini adalah sekitar 6000 hektare. data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup 2007, ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini tersisa 8,76 persen. Padahal idealnya sebuah kota harus memiliki ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari total luas kota, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ruang tebuka hijau di Metropolitan Bandung terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pada kenyataannya ruang terbuka hijau pada kawasan lindung beralih fungsi menjadi kawasan terbangun, sehingga ruang terbuka hijau yang selama ini berfungsi sebagai resapan air, tidak lagi dapat menampung limpasan air hujan yang turun ke bumi. Hal ini mengakibatkan terjadinya banjir di beberapa titik.
Jika Kota Bandung tanpa RTH, sinar matahari yang menyinari itu 90% akan menempel di aspal, genting rumah, dan bangunan lainnya yang ada. sementara sisanya yang 10% akan kembali ke angkasa. Hal itu memicu udara Kota Bandung menjadi panas. Namun, jika bandung memiliki RTH sesuai dengan angka ideal, maka sinar matahari itu 80% diserap oleh pepohonan untuk fotosintesis, 10% kembali ke angkasa, dan 10% nya lagi yang menempel di bangunan, aspal dan lainnya.
Menurut data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandung 2006, akibat berkurangnya persentase ruang terbuka hijau di Bandung, setiap tahun permukaan tanah di Kota Kembang ini menyusut sekitar 42 sentimeter. Di Babakan Siliwangi sendiri permukaan air tanah berada pada kedudukan 14,35 meter dari sebelumnya 22,99 meter. Menurut data yang dilansir Greenlife Society setidaknya 90 pusat perbelanjaan di Bandung itu masih berhutang 85 ribu meter persegi ruang hijau.
Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan menghasilkan emisi karbon-dioksida 5,6 juta ton/ tahun. Ilustrasi lain, sebuah kendaraan bermotor yang memerlukan bahan bakar 1 liter per 13 km dan tiap hari mememerlukan BBM 10 liter maka akan menghasilkan emisi karbon-dioksida sebanyak 30 kg/hari atau 9 ton/tahun. Bisa dibayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung di jalanan yang sering macet kita asumsikan 500.000 kendaraan, maka dari sektor transportasi Kota Bandung menyumbang emisi karbon-dioksida ke atmosfer sebanyak 4,5 juta ton/ tahun.
Singkatnya, kondisi hutan Kota Bandung benar-benar kritis, jauh dari angka ideal yang dibutuhkan warga kota yang telah mencapai lebih dari 2,3 juta jiwa. Istilah lainnya, wilayah RTH di Kota Bandung ini masih sedikit. Dan saat ini jumlah pohon perlindung sebanyak 229.649 pohon. Padahal, idealnya kata Kepala Dinas Pertamanan Kota Bandung, Drs. Ernawan, jumlahnya 920.000 pohon pelindung atau 40% dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut dihitung dengan rumusan 2,3 juta jiwa dikali 0,5 kg oksigen dikali 1 pohon dibagi 1,2 kg, sama dengan 2,3 juta kali 0,4 kg oksigen dikali 1 pohon, menghasilkan 920.000 pohon.





Sumber:


METODE PENATAAN PEMUKIMAN DI BANTARAN SUNGAI

Nama  : Bima Haryadi
Kelas  : 3TB06
NPM  : 22314172


METODE PENATAAN PEMUKIMAN DI BANTARAN SUNGAI


Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Daerah Aliran Sungai (menurut Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang SDA DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai uatama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS-Sub DAS.
Sungai yang melalui Kota Jakarta adaah Sungai Ciliwung. Ci Liwung, atau biasa ditulis Ciliwung adalah salah satu sungai terpenting di Tatar Pasundan, Pulau Jawa - Indonesia; terutama karena melalui wilayah ibukota, DKI Jakarta, dan kerap menimbulkan banjir tahunan di wilayah hilirnya. Panjang aliran utama sungai ini adalah hampir 120 km dengan daerah tangkapan airnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km persegi. Sungai ini relatif lebar dan di bagian hilirnya dulu dapat dilayari oleh perahu kecil pengangkut barang dagangan. Wilayah yang dilintasi Ci Liwung adalah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Jakarta. Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Ci Liwung bermuara di daerah Luar Batang, di dekat Pasar Ikan sekarang. Di sebelah barat, DAS Ci Liwung berbatasan dengan DAS Ci Sadane, DAS Kali Grogol dan DAS Kali Krukut. Sementara di sebelah timurnya, DAS ini berbatasan dengan DAS Kali Sunter dan DAS (Kali) Cipinang.
Saat ini, bantaran Sungai Ciliwung masih menjadi tempat permukiman yang kumuh. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan ekonomi warga yang tidak dapat memiliki tempat tinggal yang layak. Banyaknya permukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung adalah salah satu penyebab tejadinya banjir di Jakarta. Banjir tersebut terjadi karena terjadinya penyempitan dan pendangkalan sungai. Penyempitan sungai terjadi karena permukiman yang dibangun di bantaran sungai menyebabkan luas sungai berkurang sehingga terjadi penyempitan sungai. Pendangkalan sungai dapat tejadi karena warga yang bermukim di sekitar sungai membuang langsung sampah ke sungai sehingga terjadi pendangkalan sungai karena sampah yang menumpuk.
wilayah bantaran sungai jadi titik rawan utama bencana banjir, terutama yang mengalami pendangkalan dan penyempitan karena semakin banyaknya sedimentasi juga sampah. Padahal kawasan tersebut terlarang untuk dibangun tempat tinggal. Meski dilarang, kenyataannya masih banyak penduduk yang nekat membangun tempat tinggal sekedarnya di kawasan bantaran sungai. Kondisi itu diperparah dengan pengambilan air tanah di Jakarta secara berlebihan. Sehingga mempercepat penurunan tanah Jakarta. Akibatnya, wilayah rawan banjir semakin banyak. Diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan berbagai upaya untuk mensterilkan kawasan bantaran sungai dari permukiman penduduk. Namun,masih banyak penduduk yang tidak mau pindah.





            Dengan kondisi permukiman kumuh yang masih banyak terdapat di bantaran Sungai Ciliwung,maka perlu adanya penataan permukiman bantaran sungai.Aada beberapa metode dalam penataan permukiman. Untuk kawasan di atas tanah legal (slums):
1)   Model Land Sharing
Yaitu penataan ulang di atas tanah dengan kepemilikan masyarakat cukup tinggi. Masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan luas yang sama dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran, dan sebagainya). Beberapa prasyaratnya antara lain:
- Tingkat kepemilikan/penghunian secara sah cukup tinggi dengan luasan yang terbatas.
- Tingkat kekumuhan tinggi dengan ketersediaan lahan yang memadahi untuk menempatkan sarana dan prasarana dasar.
- Tata letak permukiman belum berpola.
2)   Model Land Consolidation
Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah yang selama ini telah dihuni. Beberapa prasyaratnya antara lain:
- Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer pemilikan atau penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.
- Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang beragam (tidak terbatas pada hunian).
- Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih strategis dari    sekedar hunian.

Untuk kawasan di atas tanah ilegal (squatters):
1)      Resettlement
Pemindahan penduduk menuju pada suatu kawasan yang khusus disediakan. Pemindahan ini perlu dilakukan bila permukiman berada di kawasan fungsional yang akan direvitalisasi sehingga bertujuan juga untuk memberikan nilai ekonomi bagi pemerintah.
2)      Konsolidasi Lahan
Apabila dalam kawasan tersebut akan dilakukan refungsionalisasi kawasan dengan catatan sebagian lahan yang disediakan masih bagi lahan hunian, guna menampung penduduk yang kehidupannya sangat bergantung pada kawasan sekitarnya serta bagi penduduk yang masih ingin tinggal di kawasan ini. Salah satu pemecahannya adalah penempatan dalam rumah sewa.

Regulasi yang mengatur penataan pada bantaran sungai diantaranya:
1.    UU No. 37 Tahun 2014 tentang Penataan Kawasan pasal 22 yang berisi:
(1) Penataan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c dan Pasal 19 ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
a. pendeliniasian kawasan; dan
b. penandaan batas.
(2) Penataan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
(3) Penataan kawasan di Kawasan Lindung yang dilaksanakan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. suaka margasatwa;
b. taman nasional kecuali zona inti;
c. taman wisata alam; dan/atau
d. taman buru.
(4) Penataan kawasan di Kawasan Lindung yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. taman hutan raya;
b. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
c. kawasan rawan bencana alam.
(5) Penataan kawasan di Kawasan Lindung yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. taman hutan raya;
b. kawasan rawan bencana alam;
c. hutan lindung;
d. hutan kota;
e. kawasan pantai berhutan bakau;
f. kawasan pengungsian satwa;
g. kawasan resapan air;
h. sempadan pantai;
i. ruang terbuka hijau kota; dan
j. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(6) Penataan kawasan di Kawasan Lindung berupa:
a. kawasan bergambut;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
d. kawasan sekitar mata air,
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penataan kawasan di Kawasan Budi Daya dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai
3. PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang berisi:
(1)   Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
            a.         daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
            b.         daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
(2)   Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
            a.         daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar;
            b.         daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan
            c.         daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai.
(3)   Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
            a.         daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk tertinggi; atau
            b.         daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk.
(4)   Ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan kriteria:
            a.         lahan dengan luas paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) meter persegi;
            b.         berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur; dan
            c.         didominasi komunitas tumbuhan.
4. Perda Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
5. UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman



Sumber: 
regulasi.kemenperin.go.id/site/download_peraturan/983 
https://id.wikipedia.org/wiki/Ci_Liwung 


 

Blogger news

Blogroll

About