Pendahuluan
Peninggalan karya arsitektur kolonial Belanda merupakan salah satu rekaman sejarah dalam bentuk nyata yang membersitkan keberlanjutan peri kehidupan masyarakat pada masa lalu sampai kini, sekaligus sebagai bukti sejarah yang bisa dikenang oleh anak cucu tentang kandungan segi-segi historisnya. Era globalisasi saat ini, dalam laju perkembangan teknologi dan informasi yang serba canggih, cepat dan beragam, keberadaan bangunan bersejarah kolonial Belanda turut memberikan keunikan dan otentisitas tersendiri di dalam sebuah kota.
Generasi berikutnya tentu membutuhkan “ruang” dan peluang untuk bisa melihat, menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah serta kekayaan kultur di masa lalu. Pelestarian arsitektur kolonial di sini tentu turut memperkaya khasanah wajah lingkungan kota. Mewujudkan karya arsitektur yang proporsional, holistik, baik dan mantap sekarang maupun di era mendatang, salah satu persyaratan utamanya adalah “hubungan dengan masa lampau”. Banyak karya arsitektur bermutu belajar dari arsitektur terdahulu, yang dapat memberikan inspirasi kepada para arsitek di dalam mengembangkan kreativitasnya.
Salah satu karya arsitektur kolonial yang membentuk citra Kota Banda Aceh adalah Mesjid Raya Baiturrahman yang desain Kapten Zeni Angkatan Darat Belanda (Genie Marechausse) De Bruijn. Bangunan yang dibangun pada Oktober 1879 ini merupakan pembangkit memori sebagian besar masyarakat tentang Kota Banda Aceh. Setiap melihat gambar Mesjid Raya Baiturrahman, ingatan masyarakat tertuju kota Banda Aceh. Setiap orang datang ke Kota banda Aceh akan menyempatkan diri melihat bahkan sholat di Mesjid Baiturrahman. Peran suatu karya arsitektur dalam membangkitkan kenangan orang banyak akan suatu tempat merupakan salah satu aspek dalam penilaian makna kultural yang dimiliki bangunan tersebut. Aspek lain adalah sejarah, estetika, dan ilmu pengetahuan.
Suatu karya arsitektur yang baik tak hanya memiliki makna kultural yang mampu membangkitkan kenangan orang banyak terhadap suatu tempat, tetapi juga mampu meninggalkan kenangan dan kesan mendalam pada orang banyak terhadap karya itu sendiri. Bila hal ini terjadi, maka karya tersebut dapat dikategorikan sebagai karya arsitektur monumental.
Kata monumental berasal dari Bahasa Latin, monere yang secara harfiah berarti ’mengingatkan’. Kata ini berkembang menjadi mnemon, mnemonikos yang dalam Bahasa Inggris menjadi mnemonic, berarti ’sesuatu yang membantu untuk mengingat’. Pengertian monumental dalam arsitektur monumental tidak jauh dari pengertian di atas, yaitu sifat perancangan tertinggi yang dapat dicapai perancang agar dapat membangkitkan kenangan atau kesan yang tidak mudah terlupakan. Seorang arsitek bernama Ruskin dalam bukunya Speaking Architecturally mengatakan, sebuah karya arsitektur yang baik memiliki kesatuan, komposisi, keseimbangan asimetris, dan ritme.
Pada Mesjid Raya, pembangkit kenangan yang utama adalah jejeran kubah bawang dan pelengkung patah model Persia. Mesjid mempunyai corak arsitektur ekletis, campuran berbagai unsur yang dianggap terbaik. Bentuk arsitekturnya berbeda dengan bangunan di sekitarnya sejak pertama kali berdiri. Hingga saat ini bentuknya memang sangat kontras dengan lingkungan sekitarnya, tidak kontekstual. Hal ini terlihat jelas saat melintasi Jalan Muhammad Jam dan Jalan Diponogoro. Berdiri pada tapak yang cukup luas. Kolam di tengahnya mengingatkan kita pada tradisi Arsitektur Islam yang menggunakan elemen air, seperti Alhamra di Granada, dan makam Syekh Jehan, Taj Mahal di India. Terasa adanya pengolahan tapak (lahan) yang sesuai dengan bentuk bangunan. Kedua unsur tersebut, bangunan dan lahan, membentuk kesatuan. Hal-hal di ataslah yang menjadi alasan mengapa bangunan ini dapat dikategorikan sebagai karya arsitektur monumental.
Peletakan Bangunan
Mesjid Raya Baiturrahman terletak pada lapangan yang luas terbuka, membuat kesan megah lebih terasa karena secara keseluruhan dapat dilihat dari jauh.
Peletakan massa Mesjid Raya Baiturrahman, menggunakan sumbu imajiner Timur-Barat.. Penggunaan sumbu Timur-Barat dengan berorientasi pada sesuatu yang sakral merupakan orientasi kosmis umat Islam sedunia. Hal yang sama diterapkan dalam pengolahan tapak mesjid-mesjid lain di dunia yang beorientasi pada Ka’bah yang terletak di kota suci umat Islam, Makkah.
Tapak Mesjid Raya Baiturraman diapit oleh 4 ruas jalan yang berbeda. Taman di bagian Timur didesain dengan menghadirkan nuansa Taj Mahal di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan kolam berbentuk persegi dengan air mancur di tengahnya..
Fasad dan Ruang dalam Bangunan
Fasad bangunan Mesjid Raya diperkaya dengan garis-garis lengkung horizontal. Hal ini merupakan ciri Arsitektur Timur Tengah. Di depan atau di sebelah Timur terdapat gerbang masuk yang menempel pada unit utama (porch). Porch berdenah segi empat dikelilingi oleh tangga di depan dan samping kiri dan kanan. Pada tahun 1935 atas usaha Gubernur Jendral Belanda A.P.H. van Haken, jumlah porch pertambah 2, mengikuti penambahan bangunan di kiri dan kanan. Pada ujung tangga di depan porch, terdapat 3 kolom langsing silindris model arsitektur Moorish yang banyak terdapat di mesjid-mesjid kuno di Afrika Utara dan Spanyol. Ada tiga pelengkung patah model Persia di setiap dua kolom. Bidang atas kolom terdapat semacam typanum, namum bentuknya bukan segitiga tetapi berjenjang seperti penampang sebuah tangga. Konsrtuksi seperti ini merupakan ciri bagian depan rumah klasik Belanda
Bagian tengah ruang sholat yang denahnya bujur sangkar diatapi oleh sebuah kubah. Bagian tengah ruang sholat ini kemudian menjadi modul untuk perluasan mesjid pada tahun 1935 dan pada era kemerdekaan.
Monumental dalam arsitektur mengandung arti hal-hal yang tersimpan di alam bawah sadar dan meninggalkan kesan dan kenangan yang sulit terlupakan. Sifat monumental pada karya arsitektur tidak hanya terbatas pada bentuk bangunan secara keseluruhan, tetapi menyangkut hal lain, seperti urutan, struktur bangunan, bentuk atap, fasad, dan lainnya. Diperlukan kepekaan khusus dalam menilai kemonumentalan suatu karya arsitektur. Hal ini dapat dicapai dengan cara berlatih menghargai dan menghormati suatu karya arsitektur.
Simpulan
Fenomena perkembangan Kota Banda Aceh mirip dengan perkembangan kota-kota lain di Indonesia. Tidak sedikit bangunan tua yang merupakan bagian dari sejarah perkembangan kota diabaikan, bahkan dihancurkan. Pasca bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2004, kondisi ini tambah parah. Lebih banyak lagi bangunan yang bernilai sejarah rusak, terlantar, dan akhirnya dihancurkan. Misalnya gedung kantor PJKA. Kondisi ini tentulah bukan suatu fenomena yang baik. Tidak sedikit karya arsitektur di Kota Banda Aceh yang memiliki nilai monumental. Suatu nilai tertinggi yang ingin dicapai dalam setiap perancangan. Jika kita belum mampu menandingi monumental suatu karya yang sudah ada, mengapa kita harus mengubah karya itu atau bahkan menghancurkannya.
Sumber: