Kelas : 3TB06
NPM : 22314172
METODE PENATAAN PEMUKIMAN DI BANTARAN SUNGAI
Sungai adalah aliran air yang
besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber)
menuju hilir (muara). Daerah Aliran Sungai (menurut Undang-undang No. 7 Tahun
2004 tentang SDA DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,
yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang
menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai uatama.
Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS-Sub DAS.
Sungai
yang melalui Kota Jakarta adaah Sungai Ciliwung. Ci Liwung, atau biasa ditulis Ciliwung adalah salah satu sungai
terpenting di Tatar Pasundan, Pulau Jawa
- Indonesia;
terutama karena melalui wilayah ibukota, DKI Jakarta,
dan kerap menimbulkan banjir
tahunan di wilayah hilirnya. Panjang aliran utama sungai ini adalah hampir
120 km dengan daerah tangkapan airnya (daerah aliran sungai) seluas
387 km persegi. Sungai ini relatif lebar dan di bagian hilirnya dulu dapat
dilayari oleh perahu kecil pengangkut barang dagangan. Wilayah yang dilintasi
Ci Liwung adalah Kabupaten Bogor, Kota Bogor,
Kota Depok,
dan Jakarta.
Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten
Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede,
Gunung Pangrango dan daerah Puncak.
Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi
barat Jalan Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta
sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan
dan Jakarta Timur. Ci Liwung bermuara di
daerah Luar Batang,
di dekat Pasar Ikan
sekarang. Di sebelah barat, DAS Ci Liwung berbatasan dengan DAS Ci Sadane,
DAS Kali Grogol
dan DAS Kali Krukut. Sementara di sebelah timurnya, DAS ini
berbatasan dengan DAS Kali Sunter dan DAS (Kali) Cipinang.
Saat
ini, bantaran Sungai Ciliwung masih menjadi tempat permukiman yang kumuh. Hal
tersebut terjadi karena keterbatasan ekonomi warga yang tidak dapat memiliki
tempat tinggal yang layak. Banyaknya permukiman kumuh di bantaran Sungai
Ciliwung adalah salah satu penyebab tejadinya banjir di Jakarta. Banjir
tersebut terjadi karena terjadinya penyempitan dan pendangkalan sungai.
Penyempitan sungai terjadi karena permukiman yang dibangun di bantaran sungai
menyebabkan luas sungai berkurang sehingga terjadi penyempitan sungai.
Pendangkalan sungai dapat tejadi karena warga yang bermukim di sekitar sungai
membuang langsung sampah ke sungai sehingga terjadi pendangkalan sungai karena
sampah yang menumpuk.
wilayah bantaran
sungai jadi titik rawan utama bencana banjir, terutama yang mengalami
pendangkalan dan penyempitan karena semakin banyaknya sedimentasi juga sampah. Padahal
kawasan tersebut terlarang untuk dibangun tempat tinggal. Meski dilarang,
kenyataannya masih banyak penduduk yang nekat membangun tempat tinggal sekedarnya
di kawasan bantaran sungai. Kondisi itu diperparah dengan pengambilan air tanah
di Jakarta secara berlebihan. Sehingga mempercepat penurunan tanah Jakarta.
Akibatnya, wilayah rawan banjir semakin banyak. Diketahui, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sudah melakukan berbagai upaya untuk mensterilkan kawasan bantaran
sungai dari permukiman penduduk. Namun,masih banyak penduduk yang tidak mau
pindah.
Dengan kondisi permukiman kumuh yang
masih banyak terdapat di bantaran Sungai Ciliwung,maka perlu adanya penataan permukiman
bantaran sungai.Aada beberapa metode dalam penataan permukiman. Untuk kawasan
di atas tanah legal (slums):
1)
Model Land Sharing
Yaitu penataan ulang di atas tanah dengan kepemilikan
masyarakat cukup tinggi. Masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan
luas yang sama dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan,
saluran, dan sebagainya). Beberapa prasyaratnya antara lain:
- Tingkat kepemilikan/penghunian secara sah cukup
tinggi dengan luasan yang terbatas.
- Tingkat kekumuhan tinggi dengan
ketersediaan lahan yang memadahi untuk menempatkan sarana dan prasarana dasar.
- Tata letak permukiman belum
berpola.
2)
Model Land Consolidation
Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah
yang selama ini telah dihuni. Beberapa prasyaratnya antara lain:
- Tingkat penguasaan lahan secara
tidak sah (tidak memiliki bukti primer pemilikan atau penghunian) oleh
masyarakat cukup tinggi.
- Tata letak permukiman tidak/kurang
berpola, dengan pemanfaatan yang beragam (tidak terbatas pada hunian).
- Berpotensi untuk dikembangkan
menjadi kawasan fungsional yang lebih strategis dari sekedar hunian.
Untuk kawasan di atas tanah ilegal
(squatters):
1)
Resettlement
Pemindahan penduduk menuju pada suatu kawasan yang
khusus disediakan. Pemindahan ini perlu dilakukan bila permukiman berada di
kawasan fungsional yang akan direvitalisasi sehingga bertujuan juga untuk
memberikan nilai ekonomi bagi pemerintah.
2)
Konsolidasi Lahan
Apabila dalam kawasan tersebut akan
dilakukan refungsionalisasi kawasan dengan catatan sebagian lahan yang
disediakan masih bagi lahan hunian, guna menampung penduduk yang kehidupannya
sangat bergantung pada kawasan sekitarnya serta bagi penduduk yang masih ingin
tinggal di kawasan ini. Salah satu pemecahannya adalah penempatan dalam rumah
sewa.
Regulasi yang mengatur penataan pada
bantaran sungai diantaranya:
1.
UU No. 37 Tahun 2014 tentang Penataan Kawasan pasal 22
yang berisi:
(1) Penataan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf c dan Pasal 19 ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
a. pendeliniasian kawasan; dan
b. penandaan batas.
(2) Penataan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah
daerah kabupaten/kota.
(3) Penataan kawasan di Kawasan Lindung yang
dilaksanakan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. suaka margasatwa;
b. taman nasional kecuali zona inti;
c. taman wisata alam; dan/atau
d. taman buru.
(4) Penataan kawasan di Kawasan Lindung yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa:
a. taman hutan raya;
b. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
c. kawasan rawan bencana alam.
(5) Penataan kawasan di Kawasan Lindung yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berupa:
a. taman hutan raya;
b. kawasan rawan bencana alam;
c. hutan lindung;
d. hutan kota;
e. kawasan pantai berhutan bakau;
f. kawasan pengungsian satwa;
g. kawasan resapan air;
h. sempadan pantai;
i. ruang terbuka hijau kota; dan
j. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(6) Penataan kawasan di Kawasan Lindung berupa:
a. kawasan bergambut;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar danau atau waduk; dan
d. kawasan sekitar mata air,
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penataan kawasan di Kawasan Budi Daya dilaksanakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota
sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai
3. PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional yang berisi:
(1) Sempadan
pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan
kriteria:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan
jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi
ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang
bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional
terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
(2) Sempadan
sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan
kriteria:
a. daratan sepanjang tepian sungai
bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah
luar;
b. daratan sepanjang tepian sungai besar
tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100
(seratus) meter dari tepi sungai; dan
c. daratan sepanjang tepian anak sungai
tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50
(lima puluh) meter dari tepi sungai.
(3) Kawasan
sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c
ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan dengan jarak 50 (lima puluh)
meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danau atau waduk
tertinggi; atau
b. daratan sepanjang tepian danau atau
waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau
waduk.
(4) Ruang terbuka
hijau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf d ditetapkan
dengan kriteria:
a. lahan dengan luas paling sedikit 2.500
(dua ribu lima ratus) meter persegi;
b. berbentuk satu hamparan, berbentuk
jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur; dan
c. didominasi komunitas tumbuhan.
4. Perda Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2014 tentang
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
5. UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Sumber:
regulasi.kemenperin.go.id/site/download_peraturan/983
https://id.wikipedia.org/wiki/Ci_Liwung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar